Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pelarian Politik Luwu Menyingkir ke Wajo 1941

Ilustrasi

TANALUWU.ARUNGSEJARAH.COM - Pelarian Politik Luwu Menyingkir ke Wajo 1941.

SETELAH berita tentang pecahnya Perang Pasifik meluas di Kedatuan Luwu, pihak Belanda semakin waspada terhadap orang-orang yang masuk dalam kelompok pergerakan. Dengan menggunakan beberapa mata-mata, Belanda banyak menerima masukan tentang nama-nama orang yang cukup berbahaya dalam pergerakan. 

Meski demikian, ada juga orang-orang yang bersimpati pada para tokoh pergerakan. Misalnya yang terjadi pada diri Sanusi Dg. Mattata yang suatu pagi di akhir Desember 1941, ia didatangi oleh seorang pejabat negeri (Polisi). 

Karena pergerakannya sebagai Kepala Penerangan PRI, namanya tercantum dalam “Black List” pemerintah Belanda. Karenanya, ia termasuk daftar orang yang akan mendapat hukuman tembak mati 12 pelor. 

Mendengar berita tersebut, Sanusi lansung pulang ke rumah. Hari itu juga dengan diam-diam ia mengayuh sepeda menuju ke Suli, sekitar 64 km dari Palopo ke arah selatan. Namun baru semalam berada di Suli, ia pun mendapat kabar dari Kepala Distrik Suli, Andi Malluru bahwa ada telepon dari Controleur Palopo yang memanggil Sanusi dan Andi Mangile Opu Topaweangi untuk kembali ke Palopo. 

Keduanya adalah pegawai Dinas Pertanian di Palopo. Keduanya dipanggil dengan alasan bahwa sawah-sawah di Wara terserang hama dan perlu segera diperiksa.

Mengetahui panggilan tersebut membuat Sanusi dan Andi Mangile menaruh kecurigaan. Keduanya mengambil kesimpulan bahwa panggilan tersebut hanyalah jebakan agar mereka mudah ditangkap.

Karena yakin akan dijebak, hari itu juga Sanusi bersama Andi Mangile dan empat orang keluarganya yakni Haji Tessinyili, Opu Gawena Becce dari Suli, Londjo Ambe Lampu dari Murante Larompong, Andi Sinilele Pettana Samaijo dari Larompong dan Abdullatif dari Soppeng bergegas berangkat dengan sepeda menuju Siwa, sebuah daerah perbatasan Luwu dengan Wajo (Sengkang). 

Mereka berangkat ke Wajo karena menurut kabar, daerah Wajo telah diduduki tentara Jepang jadi kecil kemungkinan Belanda akan mengejar sampai di sana.

Saat mereka tiba di Siwa, keadaan cukup sepi. Jarang orang yang kelihatan bekerja di sawah dan di ladang seperti biasa. Pegawai-pegawai negeri pun hanya duduk-duduk santai dalam kantornya sembari berbicara tentang perkem-bangan politk yang tidak stabil ketika itu.

Usai beristirahat sambil mencermati berbagai berita dalam dua tiga hari selama mereka di Siwa, mereka pun bersepakat untuk kembali meneruskan perjalanan menuju Sengkang. 

Perjalanan ini mereka lakukan, sebab mereka ingin sekali berjumpa dengan bala tentara Jepang yang diharapkan dapat menjadi pembebas rakyat Luwu dari kungkungan penjajah Belanda.

Saat tiba di Sengkang, mereka kemudian menghadap Raja Wajo, Andi Mangkona dan memper-kenalkan diri sebagai pelarian politik dari Palopo. 

Tiga hari berada di Sengkang, Sanusi bersama Londjo Ambe Lampu kemudian berangkat ke Soppeng untuk meninjau keadaan dan menjumpai keluarga. Ketika itu, Soppeng belum diduduki Jepang.

Setelah kurang lebih dua puluh hari menunggu di Sengkang, tapi bala tentara Jepang tidak juga kunjung datang, akhinya mereka kembali ke Siwa. Dengan menempuh jarak sekitar 90 km, mereka kemudian bergabung dengan Kahar Muzakkar yang kebetulan berada di Siwa (lihat, Beberapa Pelarian Politik Bertemu Kahar).

Di Siwa tersebar kabar bahwa tentara Jepang telah berada di Rappang. Karenanya Kahar mengajak mereka untuk berangkat ke Rappang. Akan tetapi karena sudah merasa terlalu letih, maka tak seorang pun yang sanggup meng-ikuti ajakan tersebut. 

Mereka hanya berjanji akan bertemu kembali di Palopo. Karena tidak ada yang mau ikut, maka Kahar berangkat sendiri ke Rappang dengan sepeda. 

Sementara temannya, Umar Abdul-lah memilih bergabung dengan rombongan yang ingin kembali langsung ke Palopo. Mereka pun kembali ke Palopo setelah memperoleh kabar bahwa Belanda di Luwu telah menyerah. Mereka berangkat, sehari sesudah Kahar berangkat ke Rappang.

Ketika tiba di Palopo, Sanusi dan Andi Mangile baru mengetahui bahwa mereka telah dipecat dari pekerjaannya dan barang-barangnya akan disita. Namun Belanda telah menyerah kepada Jepang, sehingga keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. 

Sumber: Ensiklopedi Sejarah Luwu; Perang Kota, Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946; Sejarah Luwu, Catatan Ringkas Sejarah Luwu Sebelum Kemerdekaan; Jejak Suara Rakyat, Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo.