Bentuk Pemerintahan Masa Datu Luwu Patipasaung
Ilustrasi Istana Luwu yang dibangun Belanda 1920 |
TANALUWU.ARUNGSEJARAH.COM - Bentuk Pemerintahan Masa Datu Luwu Patipasaung.
Bentuk Pemerintahan Masa Patipasaung. Pada masa Kedatuan Luwu berada di bawah pimpinan Patipasaung Sulthan Abdullah Petta Matinroé Malangke, penyebaran Islam semakin gencar dilakukan. Dengan bantuan Patunru Mustafa, pihak kerajaan terus melakukan penyebar-an agama Islam ke seluruh polosok Kedatuan Luwu.
Terjadinya perubahan secara ideologi di Kedatuan Luwu sejak masa kepemimpinan Patiarase (ayah Patipasaung) membuat pola pemerintahan memasuki situasi yang kurang kondusif. Karenanya sesuai perkembangan politik dan pan-dangan masyarakat, maka Baginda Patipasaung pun mengubah bentuk pemerintahan Kedatuan Luwu.
Baginda melakukan perubahan dengan membentuk dua dewan yaitu: Dewan Ade’ Asera (Adat Sembilan) atau Dewan Perawkilan Rakyat yang beranggotakan sembilan orang dan Dewan Ade’ Sappulo Dua (Adat Dua Belas) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat yang beranggotakan 14 orang, akan tetapi hanya terdiri dari 12 suara (stem).
Dengan terjadinya perubahan bentuk pemerintahan yang baru tersebut, maka kekuasaan Datu sebagian besar telah beralih ke tangan rakyat. Peralihan kekuasaan ini terutama terjadi dalam hal pengangkatan dan pemecatan datu. Untuk kedua masalah itu, telah berada di dalam kewenangan Ade’ Seppulo Dua.
Sejak perubahan itu, posisi Datu Luwu sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan, di samping Pangadereng (Kabinet), telah didampingi oleh 2 Dewan. Pangadereng tersebut, dinamai juga Pakkatenni Ade’ (Pemangku Adat). Adapun tugas Pangadereng yakni menjalankan urusan pemerintahan sehari-hari.
Adapun susunan Pangadereng itu adalah sebagai berikut:
1. Seorang yang berpangkat “Patunru” (Perdana Menteri), bergelar Opu Patunru.
2. Seorang yang berpangkat “Pabbicara” (Menteri Keha-kiman), bergelar Opu Pabbicara.
3. Seorang yang berpangkat “Tomarilaleng” (Menteri Dalam Negeri), bergelar Opu Tomari-laleng.
4. Dan seorang yang berpangkat “Balirante” (Menteri Kesejah-teraan), bergelar Opu Balirante.
Ade’ Asera merupakan dewan yang anggotanya mewakili 3 golongan besar rakyat, yakni :
A. Anak Tellué.
B. Bendera Tellué (Bendera Tiga).
C. Tiga “Matoa” atau tiga kepala dari tiga kaum, yaitu: Wage, Cenrana dan Latetonro.
Adapun susunan anggota Ade’ Asera selengkapnya adalah sebagai berikut:
Ana’ Tellué, ialah:
1. Madika Bua – Anggota 1 Suara
2. Madika Ponrang – Anggota 1 Suara
3. Makole Baebunta – Anggota 1 Suara
Bendera Tellué, ialah:
1. Andeguru Ana’arung – Anggota 1 Suara
2. Andeguru Attoriolong –Anggota 1 Suara
3. Andeguru Pampawaepu – Anggota 1 Suara
Matoa Tellué, ialah:
1. Matoa Wage – Anggota 1 Suara
2. Matoa Cenrana – Anggota 1 Suara
3. Matoa Latetonro –Anggota 1 Suara
Adapun susunan Ade’ Sappulo Dua adalah sebagai berikut:
1. Datu sebagai Ketua Majelis (1 Suara)
2. Anggota-anggota Pangadereng (kabinet): (1 Suara)
a. Opu Patunru – anggota
b. Opu Pabbicara – anggota
c. Opu Tomarilaleng – anggota
d. Opu Balirante – anggota
3. Ana’ Tellué:
a. Madika Bua – anggota (1 Suara)
b. Madika Ponrang – anggota (1 Suara)
c. Madika Baebunta- anggota (1 Suara)
4. Bendera Tellué:
a. Andeguru Ana’arung – anggota (1 Suara)
b. Andeguru Attoriolong – anggota (1 Suara)
c. Andeguru Pampawaepu – anggota (1 Suara)
5. Matoa Tellué:
a. Matoa Wage – anggota (1 Suara)
b. Matoa Cenrana – anggota (1 Suara)
c. Matoa Latetonro – anggota (1 Suara)
6. Kadhi - anggota (1 Suara)
Penamaan Ade’ Sappulo Dua karena jumlah suara dalam dewan itu ada 12 suara meskipun anggotanya ada 15-16 orang, jika dihitung dengan Cenning. Menurut Siodja Dg. Mallondjo dalam bukunya Kedatuan Luwu, Catatan tentang Sawerigading, Sistem Pemerintahan dan Masuknya Islam menyebutkan bahwa posisi Cenning biasa mewakili Pajung/Datu memimpin sidang, apabila Pajung/Datu berhalangan. Karenanya Cenning berhak juga memberikan 1 suara.
Dalam Dewan Ade’ Sappulo Dua, semua golongan dan kaum telah terwakili. Karenanya, menurut Sanusi Dg. Mattata dalam bukunya Luwu dalam Revolusi, sejak saat itu pula bentuk kerajaan dan pemerintahan Kedatuan Luwu sama dengan bentuk pemerintahan kerajaan Inggris dan Belanda.
Sementara itu terdapat pula dua aturan mutlak yaitu:
Pertama orang yang akan diangkat menjadi datu harus keturunan raja-raja dengan status “Ana’ Mattola” atau “Ana’ Angileng”.
Kedua adalah tentang kepemilikan tanah. Tanah adalah mutlak milik Datu (Kerajaan). Namun segala tanaman yang tumbuh di atasnya boleh dijual oleh rakyat. Jadi rakyat hanya mempunyai hak pakai. Adapun tanah tidak boleh dijual kepada siapapun, termasuk orang Luwu sendiri apalagi orang asing.
Adapun mengenai berbagai biaya yang diperuntukkan bagi keperluan hidup sejumlah pejabat kerajaan, berasal dari sebagian biaya untuk Datu Luwu yang diambil dari penghasilan tanah-tanah ornament di laut dan di darat.
Selain itu, mereka juga diberikan sebidang sawah yang harus dikerjakan oleh anak negeri bersama-sama. Hal ini dilakukan sebab saat itu belum ada sistem gaji seperti sekarang.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Luwu; Perang Kota, Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946; Sejarah Luwu, Catatan Ringkas Sejarah Luwu Sebelum Kemerdekaan; Jejak Suara Rakyat, Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo.