Mengenal Batari Tungke, Datu Luwu XXII
Ilustrasi Salokoa |
TANALUWU.ARUNGSEJARAH.COM - Mengenal Batari Tungke, Datu Luwu XXII.
BATARI Tungke bergelar Sultanah Fatimah Petta Matinroe ri Pattiro adalah Pajung/Datu Luwu XXII menggantikan La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae.
Batari Tungke kawin dengan Larumpang Mega (Tosappaile/Opu Cenning atau Petta Matinroé Ri Suppa), lahirlah:
1. Wé Tenri Leleang Petta Matinroé Ri Soreang.
2. La Tenri Oddang Petta Matinroé Ri Musu’na.
Raja Luwu ini diberi gelar ke-Islaman sebagai Sultan Fatimah, ia menggantikan To Palaguna, ayah-nya sendiri. Putra Batari Tungke yang kedua yaitu La Tenrioddang gugur dalam perang antara Bone dan Wajo.
Ketika itu Wajo tampil melawan Belanda yang disokong oleh Bone. Luwu pun tercatat turut serta membantu Bone dalam perang itu.
Batari Tungke kemudian digantikan Batari Tojang bergelar Sultanah Zaenab Matinroe ri Tippulué (1715-1748). Batari Tojang merupakan Pajung/Datu Luwu XXIII.
Pengganti Batari Tungje ini adalah
saudara sepupu satu kali dari Batari Tungke Sultan Fatimah
Petta Matinroe ri Pattiro adalah Pajung/Datu Luwu XXII.
Baginda Batari Tojang merupakan Pajung/Datu di Luwu dan sekaligus Mangkau ri Bone serta Datu ri Soppeng. Ia adalah anak dari raja Bone La Patau dan istrinya, I Ummu Arung Larompong.
Batari Tojang sangat terkenal dalam sejarah raja-raja di Sulawesi, karena ia pernah menguasai dan memimpin tiga kerajaan sekaligus yakni Datu Luwu, Mangkau (raja) di Bone dan Datu Soppeng.
Karena ingin mempunyai keturunan, maka selama hidupnya ia menikah sebanyak tujuh kali. Tetapi ketetapan Tuhan berkata lain, hingga wafatnya, ia tidak memperoleh seorang anak pun.
Dalam jangka waktu pemerintahannya di Luwu, Bone, dan Soppeng, para pendatang dari negeri Bugis (Bone dan Soppeng) semakin banyak yang datang ke Luwu. Pendatang asal Bone berkumpul di Cimpu, sebagian ke Palopo.
Dari Soppeng umumnya petani dan pedagang. Mereka semua segera larut ke dalam suasana penduduk Luwu atau mengaku sebagai orang Luwu.
Perlahan-lahan mereka berusaha menguasai bahasa penduduk setempat, baik Bugis maupun bahasa Lulu Palili.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Luwu; Perang Kota, Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946; Sejarah Luwu, Catatan Ringkas Sejarah Luwu Sebelum Kemerdekaan; Jejak Suara Rakyat, Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo.