Batara Guru II, Datu Luwu yang Memindahkan Ibukota ke Kamanre
TANALUWU.ARUNGSEJARAH.COM - Batara Guru II, Datu Luwu yang Memindahkan Ibukota ke Kamanre.
BATARA Guru II (1426-1458) merupakan putra ketiga Baginda Toampanangi (Datu Luwu VII). Saudara-saudaranya yang lain adalah: Ajiguna, Dewa Raja, Ajiria, Sangaji Raja dan Rajeng Puja. Batara Guru merupakan Pajung/Datu Luwu VIII. Ia menikah dengan Datu Daukkira yang melahirkan Datu Risaolebbi.
Datu Batara Guru menggantikan ayahnya sendiri yaitu Toampanangi. Sang ayah memberinya nama sebagai pengulangan dari raja pertama di Waré, kakek Sawe-rigading. Saat itu di Luwu sudah dibebaskan mengambil ulang nama leluhur yang dikagumi.
Bertepatan dengan pemerintahan Batara Guru di Luwu, di Gowa hadir pula seorang raja yang bernama Batara Gowa serta Batara Wajo di Wajo yang berkedudukan di Tosora.
Ketiga kerajaan tersebut kemudian mengikat diri dalam tali persaudaran (assiajingeng). Sebagai realisasi persahabatan dengan Wajo, Batara Guru menyerahkan sebagian dari daerah Luwu. Meskipun demikian, bagian pesisir sampai Cenrana masih dikuasai oleh Luwu.
Di bawah kekuasaan Batara Guru, Luwu semakin diperkuat. Pasukan khusus orang Rongkong (penduduk sekitar pegunungan Ussu dekat danau Matana) dibentuk. Mereka diberi status lebih dari wilayah penduduk “palili” (wilayah Kedatuan Luwu).
Hal tersebut selain karena mereka pandai membuat senjata tajam bermutu tinggi dan me-ngandung racun, orang Rongkong pada umumnya kebal atau tahan besi. Sehingga lahirlah sebuah ungkapan bahwa, “orang Rongkong itu telah menyatu dengan besi atau logam sendiri”.
Untuk memperkuat barisan kerajaan, pada setiap wilayah kerajaan pendukung Luwu yang disebut “palili” dibentuk pasukan. Raja Palili-lah yang bertindak sebagai pemimpin pasukannya masing-masing. Pasukan dari setiap Palili adalah orang-orang terpilih dan memiliki jiwa pemberani.
Sejak dahulu para bangsawan tinggi Luwu dituntut berjiwa pemberani. Pengetahuan atau “ilmu” yang harus mereka kuasai adalah:
a. Memahami diri,
b. Memahami kedudukan diri terhadap benda,
c. Memahami kedudukan diri dan benda terhadap dewata,
d. Memahami besi dan benda logam lainnya,
e. Latihan ketahanan diri terhadap benda, dan
f. Latihan ketahanan diri terhadap raja pusat benda yaitu matahari dan air.
Kebiasaan orang Luwu untuk menanamkan jiwa pemberani ini diberikan pada anak-anak bangsa-wan sejak dini, yakni sekitar usia empat tahun dengan melatih mereka menatap matahari dan mata badik.
Sedangkan Rakyat Luwu pada umumnya dilatih bertani dan berkebun. Ini dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam Luwu yang memiliki tanah datar yang sangat luas dan penuh hutan lebat dan didukung dengan sungai yang tidak pernah berhenti mengalirkan air sehingga tanah menjadi subur.
Bagi penduduk yang bermukim di Toraja, mereka tidak diharuskan ikut bertanggungjawab terhadap keraja-an. Mereka hanya ditugaskan bekerja keras di hutan-hutan untuk mengumpulkan damar, rotan, lilin, mengolah kayu, serta menambang mas dan besi.
Sehubungan dengan tugas mereka yang berkecimpung di wilayah hutan, mereka (orang-orang Toraja) sebagai penduduk pegu-nungan mempunyai kelebihan membuat parang dan alat-alat pertanian.
Keunggulan pemerintahan Batara Guru di Luwu juga dapat dilihat dari strategi keamanan wilayah yang diterapkannya. Hal ini terbukti akibat dari kekhawatirannya akan adanya ganguan dari daerah Luwu Selatan, sehingga pusat pemerintahan Kedatuan Luwu dipusatkan di Kamanre.
Letak Waré (pusat pemerintahan Luwu) yang baru tersebut berada dekat dengan Balla-Bajo, sekitar 7 km sebelah Utara.
Pasukan kerajaan ditempatkan di Cilellang. Sedangkan wilayah Cenrana, dan Latetonro harus dipertahankan. Bahkan diupayakan agar perbatasan di Tenggara, yaitu Tanjung Towari sedapat mungkin diluruskan melewati teluk Bone.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Luwu