Anakaji, Raja Luwu ke-IV (Kedatuan Luwu)
Ilustrasi Istana Luwu (Langkanae) |
TANALUWU.ARUNGSEJARAH.COM - Anakaji, Raja Luwu ke-IV (Kedatuan Luwu).
Anakaji. Anakaji adalah Datu Luwu keempat, putra Simpurusiang (Datu Luwu III). Ia memerintah Luwu mulai tahun 1293 hingga 1330. Menurut buku data sejarah, Anakaji kawin dengan seorang puteri dari kerajaan Majapahit bernama Wé Tappacina.
Kerajaan Majapahit sendiri adalah daerah asal Wé Tappacina yang didirikan oleh Raden Wijaya bergelar Kertarejasa Jayawardhana pada tahun 1292 M. Kerajaan ini runtuh pada tahun 1528 bersamaan dengan habisnya pengaruh Hindu, setelah kira-kira 1000 tahun Hinduisme berpengaruh di Indonesia.
Perkawinan Anakaji dengan Tappacina kemungkinan besar terjadi, meng-ingat hubungan dan pengaruh Kedatuan Luwu dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia begitu besar, sehingga Luwu disegani di mana-mana. Sejak Anakaji inilah, darah keturunan raja-raja Luwu telah bercampur dengan darah raja-raja dari Jawa (Majapahit).
Pada masa pemerintahan Anakaji yakni sekitar tahun 1300, pada tahun ini pulalah kerajaan Gowa berdiri. Raja pertama dari kerajaan Gowa adalah seorang wanita yang bernama Karaeng Baineya yang kemudian diperistrikan oleh Lakipadada atau Karaeng Bayo, adik kandung Anakaji. Kerajaan Gowa adalah kerajaan Maritim yang mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (pertengahan abad 17).
Selain kerajaan Gowa, Kerajaan Bone juga lahir pada masa Luwu di bawah raja Anakaji. Konon kerajaan utama orang Bugis atau “Tellu Poccoé” lahir pada tahun 1326. Raja pertamanya bernama Mata Silompoé, yang digelar “Manurungé ri Matajang”.
Kedatuan Luwu yang diwariskan oleh Anakaji kepada penduduk dan anak cucunya amat luas. Batas sebelah selatan termasuk Cenrana melampaui sungai Walanaé. Dari situ menyeberang ke tenggara melewati Tanjung Tawoti dan di sebelah selatan adalah daerah Pamala. Perbatasan di sebelah utara ialah Poso. Dengan demikian diperlukan pemerintahan yang kuat disertai kepercayaan semua penduduk dan kepala wilayah.
Untuk mengontrol kerajaan, setiap wilayah yang berada dalam kekuasaan Anakaji setiap tahunnya diharuskan memberikan tanda patuh, yaitu sebuah tempat sirih berbentuk kotak terbuat dari kuningan berisi tujuh lembar daun sirih lengkap campurannya untuk dipersembahkan ke Waré (pusat Kedatuan Luwu). Kotak sirih tersebut diikat tali ijuk enau berukuran kurang lebih sedepa. Hal serupa dilakukan apabila ada keramaian besar. Sebuah sumber pernah menyebutkan bahwa Gorontalo pernah mengirim emas tetapi dikembalikan oleh raja. Hal ini disebabkan karena Luwu tidak memerlukan emas ataupun kekayaan, melainkan sekedar tanda ikatan kekeluargaan.
Kedatuan Luwu memang telah cukup makmur sejak raja Anakaji. Belum ada kerajaan saingan. Gowa dan Bone pada masa itu (abad ke-13) baru mulai menata kerajaan mereka masing-masing dan masih sangat sempit. Pada tahun-tahun terakhir masa jabatan Anakaji, pusat Kedatuan Luwu yaitu Waré, dipindahkan ke Ussu dan Mancapai. Pusat kerajaan itu berada di sebelah selatan danau Tawoti. Dengan demikian terdapat dua pusat perniagaan Luwu, yaitu teluk Ussu dan teluk Lelewau. Pelabuhan Ussu tetap dipertahankan sebagai pusat perekonomian kerajaan. Sedangkan Mancapai hanya merupakan pusat kerajaan. Perangkat hadat dan pemimpin pasukan kerajaan Waré berada di Waré- Mancapai. Biasanya, pasukan kerajaan dikepalai oleh Opu Cenning atau putra mahkota.
Kemakmuran Kedatuan Luwu pada masa Anakaji, dapat digambarkan seperti keadaan berikut; kepala-kepala wilayah pada saat itu bebas mengatur pemerintah-an atau “Palili” masing-masing. Biaya pusat kerajaan diperoleh dari kegiatan di Waré yang baru dan Ussu sebagai pusat perekonomian. Tetapi hasil yang melimpah pada setiap wilayah selalu mengalir ke Waré. Mereka bangga apabila wilayahnya makmur ditandai dengan adanya upeti ke Waré.
Perahu adalah satu-satunya alat perhubungan yang utama. Keper-luan terhadap perahu terpenuhi dari hasil pohon-pohon kayu besar yang berdiameter dua depa. Pusat pembuatan perahu ialah Malangke dan Pao yang terletak di sekitar wilayah Pattimang. Untuk sarana transportasi dan hiburan, masya-rakat Waré menggunakan kuda tunggangan. Setiap tahun setelah panen raya atau ada keramaian istimewa dilaksanakan perlombaan pacuan kuda. Para bangsawan mengadakan sayembara menjerat rusa.
Sungai-sungai di Luwu berjumlah sekitar 100 buah. Hingga tahun 1880, masih ditemukan oleh peme-rintah Belanda sekitar 60 buah sungai yang dapat dipakai untuk berlayar.
Misalnya di Luwu selatan: sungai Siwa, Larompong, Suli, Nolling, Olang, Ponrang, Bua, dan Songka. Di sekitar Palopo ialah sungai Mawa dan Salobulo. Di daerah sebelah timur ialah sungai Tamalaba, Walenrang, Marowa, Lamasi, Pomponengang, Labura-Burau, Lasore, Appa, Uwae Lawi, Mantalinga, Pao Biro atau Pattimang, Tokke, Tamponge, Cappasolo, Lamunte, Walo Jampu, Batatongka, Tammuku, Patilla, Setang-Setang, Lauwa, Laburau, Saluwanna, Batubalo, Wotu, Bubu, Langkara, Cerekang, dan Ussu. Adapun dua sungai terakhir (Cerekang dan Ussu) menjadi urat nadi arus transportasi di Luwu ketika itu.
Sungai Larona yang berasal dari danau Tawoti dikenal banyak dihuni oleh buaya ganas. Di sebelah selatan Ussu yaitu sungai Lelewau, Pao, Lasua-Sua, Kolaka, Tohua, dan Passuloi. Kemudian sungai Pondo-pulo, Buatallang, dan terakhir adalah Towari. Sekarang sungai-sungai tersebut banyak yang berganti nama. Beberapa sungai juga hilang karena terjadi pendangkalan.
Sumber: Ensiklopedi Sejarah Luwu; Perang Kota, Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946; Sejarah Luwu, Catatan Ringkas Sejarah Luwu Sebelum Kemerdekaan; Jejak Suara Rakyat, Menelusuri Sejarah DPRD Kota Palopo.